Tembung Angkara Tegese

Tembung angkara tegese

Tembung angkara tegese – Tembung angkara merupakan istilah dalam Bahasa Jawa yang sering digunakan untuk menggambarkan tindakan atau perilaku yang buruk, jahat, atau keji. Pemahaman mendalam tentang kata ini membutuhkan pengkajian makna harfiahnya, konteks penggunaannya, dan perbandingannya dengan kata-kata sinonim.

Table of Contents

Makna Harfiah Tembung Angkara, Tembung angkara tegese

Secara harfiah, “tembung” berarti kata atau ucapan, sementara “angkara” merujuk pada kejahatan, kekerasan, atau amarah yang membutakan. Oleh karena itu, “tembung angkara” dapat diartikan sebagai “kata-kata kejahatan” atau “ucapan yang penuh kebencian dan niat jahat”. Namun, arti ini tidak selalu literal. Seringkali, tembung angkara merujuk pada tindakan yang dipicu oleh niat jahat, meskipun tidak selalu diungkapkan lewat kata-kata.

Konteks Penggunaan Tembung Angkara dalam Kalimat

Penggunaan “tembung angkara” dalam kalimat sangat bergantung pada konteksnya. Kata ini biasanya digunakan untuk menggambarkan tindakan seseorang yang merugikan orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Penggunaan kata ini cenderung lebih kuat dan lebih menekankan pada niat jahat di balik tindakan tersebut dibandingkan dengan kata-kata sinonimnya.

Contoh Kalimat dan Terjemahannya

Berikut contoh kalimat yang menggunakan “tembung angkara” dan terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia:

  • Kalimat Jawa: Tumindak angkara murkane iku ora bakal nggawa kabecikan.
  • Terjemahan Indonesia: Perbuatan keji yang didorong amarah itu tidak akan membawa kebaikan.
  • Kalimat Jawa: Wong kang nglakoni tembung angkara bakal nandhang akibaté.
  • Terjemahan Indonesia: Orang yang melakukan perbuatan jahat akan menanggung akibatnya.

Perbandingan Tembung Angkara dengan Kata Lain yang Serupa

Beberapa kata dalam Bahasa Jawa memiliki makna yang mirip dengan “tembung angkara”, seperti ala, jahat, durjana, dan salah. Namun, terdapat perbedaan nuansa makna di antara kata-kata tersebut. “Tembung angkara” lebih menekankan pada tindakan yang didasari oleh niat jahat yang kuat dan seringkali berdampak buruk secara signifikan.

Tabel Perbandingan Tembung Angkara dan Sinonimnya

KataMaknaNuansa MaknaContoh Kalimat
Tembung AngkaraPerbuatan jahat, kejiMenekankan niat jahat yang kuat dan dampak buruk signifikanTumindak tembung angkara iku mbebayani. (Perbuatan jahat itu berbahaya.)
AlaJahat, burukLebih umum, tidak selalu menekankan niat jahatWong iku duwe ati ala. (Orang itu berhati jahat.)
DurjanaJahat, kejamMenekankan sifat kejam dan tidak berperasaanWong durjana kudu diukum. (Orang jahat harus dihukum.)
SalahSalah, keliruLebih menekankan pada kesalahan tanpa niat jahatAku salah ngerti. (Aku salah mengerti.)

Asal Usul dan Sejarah Kata “Tembung Angkara”

Tembung angkara tegese

Kata “tembung angkara,” dalam konteks bahasa Jawa, menyimpan kekayaan sejarah dan makna yang menarik untuk ditelusuri. Pemahaman asal-usul kata “angkara” sangat penting untuk memahami nuansa dan konteks pemakaiannya dalam berbagai karya sastra dan percakapan sehari-hari. Berikut ini uraian mengenai asal-usul dan evolusi kata “angkara” dalam bahasa Jawa.

Asal Usul Kata “Angkara” dalam Bahasa Jawa Kuno

Kata “angkara” diyakini memiliki akar dalam bahasa Jawa Kuno. Meskipun penelusuran etimologi yang pasti memerlukan kajian lebih mendalam oleh ahli bahasa, beberapa sumber menyebutkan kemungkinan hubungannya dengan konsep kejahatan, kejahatan batin, atau niat jahat. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan secara pasti bentuk kata ini dalam naskah-naskah Jawa Kuno tertua dan konteks penggunaannya.

Evolusi Kata “Angkara” Sepanjang Masa

Seiring perkembangan bahasa Jawa, kata “angkara” mengalami evolusi makna dan penggunaan. Dari kemungkinan arti awal yang terkait dengan kejahatan, kata ini kemudian berkembang dan digunakan dalam berbagai konteks, termasuk dalam sastra Jawa klasik maupun kontemporer. Perubahan ini mencerminkan dinamika bahasa dan pengaruh budaya yang terjadi sepanjang sejarah.

Pengaruh Bahasa Lain terhadap Kata “Angkara”

Kemungkinan adanya pengaruh bahasa lain terhadap kata “angkara” masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun, memperhatikan dinamika pertukaran budaya dan bahasa di Nusantara, tidak menutup kemungkinan adanya pengaruh dari bahasa-bahasa lain yang berinteraksi dengan bahasa Jawa. Kajian komparatif dengan bahasa-bahasa terkait di wilayah Nusantara dapat membantu mengungkap hal ini.

Garis Waktu Perkembangan Penggunaan Kata “Angkara”

Menentukan garis waktu yang presisi untuk perkembangan kata “angkara” cukup sulit karena keterbatasan data tertulis. Namun, dapat disusun garis waktu berdasarkan periode perkembangan bahasa Jawa, sebagai berikut:

  • Masa Jawa Kuno (abad ke-8 – ke-15): Kemungkinan munculnya bentuk awal kata “angkara” dalam naskah-naskah kuno, dengan makna yang masih perlu diteliti lebih lanjut.
  • Masa Jawa Pertengahan (abad ke-15 – ke-19): Kata “angkara” mungkin telah mengalami perkembangan makna dan penggunaan dalam karya sastra dan kehidupan sehari-hari.
  • Masa Jawa Modern (abad ke-19 – sekarang): Kata “angkara” terus digunakan dan maknanya mungkin telah mengalami penyempurnaan atau perluasan.

Sumber Referensi

Untuk penelitian lebih lanjut mengenai asal-usul dan sejarah kata “angkara,” diperlukan rujukan ke berbagai sumber terpercaya, termasuk naskah-naskah Jawa Kuno, kamus bahasa Jawa, dan buku-buku linguistik yang membahas perkembangan bahasa Jawa. Sayangnya, tidak semua sumber tersebut mudah diakses secara umum. Penelitian lebih lanjut dari para ahli bahasa Jawa diperlukan untuk mengungkap detail yang lebih lengkap.

Makna Kiasan “Tembung Angkara”

Ungkapan “tembung angkara” dalam bahasa Jawa memiliki makna yang kaya, melampaui arti harfiahnya. Pemahaman yang mendalam terhadap makna kiasannya membuka jendela ke dunia sastra Jawa dan pemahaman lebih luas tentang dinamika sosial budaya Jawa.

Secara harfiah, “tembung” berarti kata atau ucapan, sementara “angkara” merujuk pada kejahatan, amarah, atau nafsu buruk. Namun, dalam konteks kiasan, “tembung angkara” seringkali menggambarkan ucapan yang tajam, menusuk, bahkan berpotensi merusak hubungan antarmanusia. Ini bukan sekadar kata-kata kasar, melainkan kata-kata yang mengandung niat jahat, mampu melukai hati, dan menimbulkan perselisihan.

Contoh Penggunaan “Tembung Angkara” Secara Kiasan dalam Sastra Jawa

Penggunaan “tembung angkara” dalam sastra Jawa seringkali ditemukan dalam konteks konflik antar tokoh. Kata-kata yang dilontarkan bukan hanya sebagai ungkapan emosi sesaat, melainkan sebagai alat untuk melukai, menjatuhkan, atau bahkan memicu peperangan. Contohnya bisa ditemukan dalam berbagai karya sastra Jawa klasik, di mana tokoh antagonis sering menggunakan “tembung angkara” untuk menjatuhkan lawan atau memanipulasi situasi demi keuntungan pribadi. Meskipun tidak ada satu contoh spesifik yang mudah dikutip tanpa konteks yang luas, gambaran ini memberikan pemahaman umum tentang bagaimana “tembung angkara” berfungsi dalam narasi.

Implikasi Penggunaan “Tembung Angkara” Secara Kiasan dalam Konteks Sosial

Penggunaan “tembung angkara” dalam kehidupan sosial berimplikasi luas. Ucapan yang mengandung “tembung angkara” dapat merusak hubungan antar individu, keluarga, bahkan masyarakat. Dalam konteks modern, penyebaran informasi yang tidak benar atau bersifat fitnah melalui media sosial dapat dianggap sebagai bentuk “tembung angkara” yang dampaknya sangat signifikan. Perlu bijak dalam berkomunikasi dan menghindari penggunaan kata-kata yang dapat melukai atau menimbulkan perselisihan.

Cerita Pendek yang Menggunakan “Tembung Angkara” Secara Kiasan

Di sebuah desa kecil, hiduplah dua keluarga yang bertetangga, namun selalu berselisih. Perselisihan itu bermula dari “tembung angkara” yang dilontarkan oleh kepala keluarga masing-masing. Awalnya hanya pertengkaran kecil, namun kata-kata pedas yang dilontarkan semakin membesar, menimbulkan permusuhan yang berkepanjangan. Anak-anak mereka pun ikut terpengaruh, mewarisi kebencian yang ditanamkan oleh orang tua mereka. Hingga akhirnya, seorang bijak datang dan menasehati mereka untuk menyadari betapa merusak “tembung angkara” itu, dan betapa pentingnya perdamaian dan komunikasi yang santun.

Kutipan Sastra Jawa yang Mengandung “Tembung Angkara” dan Maknanya

Wong kang akeh tembung angkara, bakal nandhang sangsara” (Orang yang banyak mengucapkan kata-kata jahat, akan menderita kesengsaraan).

Kutipan di atas menggambarkan konsekuensi dari penggunaan “tembung angkara”. Kata-kata jahat yang dilontarkan akan kembali kepada pelakunya, membawa kesengsaraan dan penderitaan. Ini menunjukkan pentingnya berhati-hati dalam berbicara dan menghindari penggunaan kata-kata yang dapat melukai orang lain.

Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Berbagai Konteks

Tembung angkara, istilah dalam Bahasa Jawa yang merujuk pada kata-kata kasar atau perkataan yang menyakitkan, memiliki peran yang beragam dalam berbagai konteks. Pemahaman tentang penggunaannya penting untuk memahami nuansa bahasa Jawa dan menghindari kesalahpahaman. Berikut beberapa contoh penggunaan “tembung angkara” dalam berbagai situasi.

Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Percakapan Sehari-hari

Dalam percakapan sehari-hari, “tembung angkara” jarang digunakan secara langsung dan terang-terangan, kecuali dalam situasi konflik yang sangat emosional. Lebih sering, ungkapan tidak langsung atau sindiran halus digunakan untuk menyampaikan rasa tidak senang atau amarah. Misalnya, ungkapan “ora ngerti karepe dhewe” (tidak tahu dirinya sendiri) bisa diartikan sebagai sindiran halus terhadap perilaku seseorang yang dianggap kurang ajar. Penggunaan “tembung angkara” yang eksplisit biasanya dianggap tidak sopan dan dapat merusak hubungan.

Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Karya Sastra Jawa Modern

Penulis sastra Jawa modern sering menggunakan “tembung angkara” untuk menggambarkan karakter tokoh dan membangun suasana tertentu. Penggunaan kata-kata kasar dapat merepresentasikan kemarahan, frustrasi, atau keputusasaan tokoh. Namun, penggunaan “tembung angkara” ini haruslah bertujuan dan terukur, tidak sekadar untuk menghiasi teks. Penulis terampil akan menggunakannya sebagai alat untuk mengarahkan emosi pembaca dan memperdalam pemahaman terhadap karakter.

Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Ungkapan-Ungkapan Jawa

Beberapa ungkapan Jawa memakai kata-kata yang berkonotasi kasar, tetapi dalam konteks tertentu, ungkapan tersebut tidak lagi dianggap sebagai “tembung angkara” yang sebenarnya. Misalnya, ungkapan “ora gelem ngalah” (tidak mau mengalah) bisa terdengar kasar, tetapi dalam konteks persaingan sehat, ungkapan ini tidak dianggap menyinggung. Konteks dan intonasi sangat penting dalam menentukan apakah ungkapan tersebut termasuk “tembung angkara” atau tidak.

Contoh Dialog Singkat yang Menggunakan “Tembung Angkara” dalam Berbagai Situasi

Berikut contoh dialog singkat yang menggambarkan penggunaan “tembung angkara” dalam berbagai situasi, perlu diingat bahwa penggunaan kata-kata kasar harus dihindari sebisa mungkin dalam kehidupan nyata:

SituasiDialog
Pertengkaran antar saudaraA: “kowe iki ora tau ngerti aturan!” (kamu ini tidak pernah tahu aturan!)
B: “kowe sing salah!” (kamu yang salah!)
Seseorang yang sedang kesalA: “Aduh, kesel banget aku!” (Aduh, capek sekali aku!)
(Kemudian bergumam pelan): “Wong-wong iki ngganggu banget!” (Orang-orang ini sangat mengganggu!)

Contoh Kalimat yang Menggambarkan Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Konteks yang Berbeda

Berikut beberapa contoh kalimat yang menggambarkan penggunaan “tembung angkara” dalam berbagai konteks. Perlu diingat bahwa konteks dan intonasi sangat penting dalam menentukan apakah suatu kalimat termasuk “tembung angkara”:

  • Dalam kemarahan: “Mbok yo ojo ngomong kaya ngono!” (Jangan bicara seperti itu!)
  • Sebagai ungkapan kekecewaan: “Aku kecewa banget karo kowe!” (Aku sangat kecewa padamu!)
  • Dalam sindiran halus: “Wah, pinter tenan ya!” (Wah, pintar sekali ya!) (dengan nada sarkastik)

Sinonim dan Antonim “Tembung Angkara”

Tembung angkara tegese

Tembung angkara, dalam konteks bahasa Jawa, merujuk pada tindakan atau perbuatan yang kejam, jahat, dan penuh kebencian. Memahami sinonim dan antonimnya akan memperkaya pemahaman kita terhadap nuansa makna kata tersebut dan penggunaannya dalam kalimat. Berikut ini akan dibahas beberapa sinonim dan antonim dari “tembung angkara” beserta perbedaan nuansa maknanya, serta contoh penggunaannya dalam kalimat.

Sinonim “Tembung Angkara” dan Perbedaan Nuansa Makna

Beberapa kata yang dapat dianggap sebagai sinonim dari “tembung angkara” antara lain: kejam, bengis, sadis, ganas, dan keji. Meskipun memiliki kesamaan makna dalam konteks kejahatan, namun terdapat perbedaan nuansa yang perlu diperhatikan.

  • Kejam: Menekankan pada sifat tidak berperasaan dan tanpa belas kasihan.
  • Bengis: Lebih menonjolkan sifat buas dan liar dalam melakukan kejahatan.
  • Sadis: Menggambarkan tindakan kejahatan yang disertai dengan menikmati penderitaan korban.
  • Ganas: Menekankan pada kekuatan dan kekerasan yang brutal dalam tindakan kejahatan.
  • Keji: Menunjukkan tindakan yang sangat buruk dan tercela secara moral.

Perbedaan nuansa ini terlihat jelas ketika kita membandingkan kalimat-kalimat berikut: “Perbuatannya sangat kejam,” (menekankan ketidakpedulian), “Ia bertindak bengis terhadap musuhnya,” (menekankan kebrutalan), “Tindakannya sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan,” (menekankan kenikmatan atas penderitaan korban).

Antonim “Tembung Angkara”

Antonim atau lawan kata dari “tembung angkara” meliputi kata-kata yang bermakna kebaikan, kasih sayang, dan kemanusiaan. Beberapa contohnya adalah: baik hati, penyayang, welas asih, ramah, dan berbudi luhur.

Tabel Sinonim dan Antonim “Tembung Angkara” Beserta Contoh Kalimat

KataJenis KataContoh KalimatMakna
KejamSinonimRaja itu terkenal kejam terhadap rakyatnya.Tidak berperasaan, tanpa belas kasihan.
BengisSinonimSerigala itu bengis menyerang domba.Buas, liar, dan brutal.
Baik HatiAntonimIbu itu dikenal baik hati dan selalu membantu orang lain.Memiliki sifat kebaikan dan kasih sayang.
Welas AsihAntonimIa memiliki welas asih yang besar terhadap anak yatim piatu.Penuh rasa simpati dan empati.

Perbandingan Penggunaan Sinonim dan Antonim “Tembung Angkara” dalam Kalimat

Penggunaan sinonim “tembung angkara” akan mewarnai kalimat dengan nuansa negatif yang kuat, tergantung pada kata yang dipilih. Sebaliknya, penggunaan antonimnya akan memberikan nuansa positif dan menggambarkan kebaikan serta kemanusiaan. Perbedaan ini sangat penting untuk menciptakan efek dan pesan yang tepat dalam suatu kalimat atau teks.

Contohnya, kalimat “Ia melakukan tindakan kejam” berbeda nuansanya dengan kalimat “Ia menunjukkan welas asih”. Kalimat pertama menggambarkan tindakan jahat dan tidak berperasaan, sementara kalimat kedua menunjukkan tindakan yang penuh kasih sayang dan empati.

Peran “Tembung Angkara” dalam Budaya Jawa

Tembung angkara, atau kata-kata yang mengandung kekuatan gaib dan pengaruh besar, memiliki peran penting dalam khazanah budaya Jawa. Kehadirannya bukan sekadar elemen cerita, melainkan refleksi nilai-nilai, kepercayaan, dan bahkan praktik ritual masyarakat Jawa. Pengaruhnya terpatri dalam berbagai aspek kehidupan, dari cerita rakyat hingga seni pertunjukan.

Tembung Angkara dalam Cerita Rakyat Jawa

Dalam cerita rakyat Jawa, tembung angkara seringkali menjadi kunci plot utama, memicu konflik, atau bahkan menjadi solusi dari permasalahan. Kata-kata sakti ini dapat mendatangkan malapetaka, memberikan kekuatan supranatural, atau bahkan mengendalikan alam. Contohnya, dalam kisah-kisah pewayangan, mantra-mantra dan ucapan tertentu memiliki dampak besar terhadap jalannya cerita dan nasib para tokoh. Kekuatan tembung angkara ini menunjukkan kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan verbal dan spiritual yang terkandung di dalamnya.

Pengaruh Tembung Angkara terhadap Nilai-Nilai Budaya Jawa

Tembung angkara mempengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dengan menekankan pentingnya kehati-hatian dalam berbicara. Ucapan yang tidak bijak dianggap dapat menimbulkan dampak negatif, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Hal ini menunjukkan nilai kesopanan, kebijaksanaan, dan tanggung jawab dalam berkomunikasi yang merupakan bagian integral dari etika kehidupan masyarakat Jawa. Penggunaan tembung angkara yang bijak mencerminkan kekuasaan moral dan spiritual seseorang.

Representasi Aspek-Aspek Tertentu dalam Budaya Jawa

Tembung angkara merepresentasikan beberapa aspek penting dalam budaya Jawa, antara lain: kekuatan spiritual, hubungan manusia dengan dunia gaib, dan pentingnya kata-kata sebagai media interaksi dengan dunia nyata dan dunia gaib. Kepercayaan ini menunjukkan sifat animisme dan dinamisme yang melekat dalam kepercayaan tradisional Jawa. Tembung angkara juga mencerminkan pandangan masyarakat Jawa tentang kekuatan kata-kata yang dapat mempengaruhi takdir.

Visualisasi Tembung Angkara dalam Seni Pertunjukan Jawa

Dalam seni pertunjukan Jawa seperti wayang kulit, tembung angkara seringkali divisualisasikan melalui adegan-adegan dramatis yang menggambarkan dampak dari kata-kata sakti. Misalnya, pertempuran antar tokoh yang dipicu oleh mantra atau kutukan. Gerakan boneka wayang, ekspresi wajahnya, dan musik pengiring akan menciptakan suasana yang mencerminkan kekuatan dan misteri tembung angkara. Tata rias dan kostum juga dapat digunakan untuk menunjukkan kekuatan supranatural yang dimiliki oleh tokoh yang menggunakan tembung angkara.

Penggunaan Tembung Angkara dalam Upacara Adat Jawa

Tembung angkara juga berperan dalam upacara adat Jawa tertentu. Doa-doa, mantra, dan ucapan khusus yang mengandung kekuatan spiritual dianggap mampu menghubungkan dunia nyata dengan dunia gaib. Penggunaan tembung angkara ini dimaksudkan untuk memperoleh berkah, melindungi diri dari bahaya, atau memperlancar jalannya upacara. Contohnya, dalam upacara pernikahan atau khitanan, ucapan-ucapan tertentu dianggap mampu memberikan berkah dan perlindungan bagi peserta upacara.

Kajian Semantik “Tembung Angkara”

Kata “angkara” dalam Bahasa Jawa merupakan tembung (kata) yang kaya makna dan menyimpan sejarah panjang dalam perkembangan bahasa. Analisis semantik terhadap kata ini akan mengungkap lapisan-lapisan makna yang tersirat, baik secara denotatif maupun konotatif, serta evolusi pemaknaannya seiring berjalannya waktu.

Makna Denotatif dan Konotatif “Tembung Angkara”

Secara denotatif, “angkara” umumnya merujuk pada tindakan kejahatan, kekerasan, atau perbuatan buruk. Ini merupakan makna inti yang paling sering dipahami. Namun, makna konotatifnya lebih luas dan kompleks. “Angkara” dapat pula menggambarkan sifat jahat, keganasan, atau kekejaman yang melekat pada seseorang atau suatu peristiwa. Nuansa negatif sangat kuat dalam kedua makna ini, menunjukkan sesuatu yang merugikan dan mengancam.

Unsur-Unsur Semantik dalam “Tembung Angkara”

Beberapa unsur semantik yang terkandung dalam “tembung angkara” antara lain: kejahatan, kekerasan, keganasan, perbuatan buruk, sifat jahat, dan ancaman. Unsur-unsur ini saling berkaitan dan memperkuat makna negatif yang melekat pada kata tersebut. Intensitas makna ini dapat bervariasi tergantung konteks penggunaannya dalam kalimat atau percakapan.

Peta Konsep Makna dan Relasi Semantik “Tembung Angkara”

Peta konsep “tembung angkara” dapat digambarkan sebagai berikut: Kata “angkara” berada di tengah sebagai inti. Dari kata inti tersebut, mengarah beberapa cabang yang merepresentasikan unsur-unsur semantiknya. Cabang-cabang tersebut antara lain: kejahatan (dengan contoh: pembunuhan, pencurian), kekerasan (dengan contoh: penganiayaan, pengeroyokan), keganasan (dengan contoh: perilaku brutal, kekejaman), perbuatan buruk (dengan contoh: pengkhianatan, kebohongan), sifat jahat (dengan contoh: licik, tega), dan ancaman (dengan contoh: ancaman pembunuhan, ancaman kekerasan). Hubungan antar cabang menunjukkan saling keterkaitan unsur-unsur semantik tersebut dalam membentuk makna menyeluruh “tembung angkara”.

Evolusi Makna “Tembung Angkara” Seiring Waktu

Makna “tembung angkara” kemungkinan besar telah mengalami sedikit perubahan seiring waktu, meskipun inti maknanya tetap terjaga. Pada masa lampau, kata ini mungkin lebih sering digunakan dalam konteks keagamaan atau kultural tertentu, mencerminkan pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan dosa. Seiring perkembangan zaman dan pengaruh bahasa modern, penggunaan “angkara” mungkin lebih berfokus pada aspek kriminalitas dan kekerasan secara fisik. Namun, inti makna negatif dan ancaman tetap konsisten dan menjadi ciri utama kata tersebut.

Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Peribahasa Jawa

Tembung angkara tegese

Tembung angkara, yang berarti amarah atau kejahatan, seringkali muncul dalam peribahasa Jawa untuk menggambarkan konsekuensi negatif dari tindakan buruk dan pentingnya pengendalian diri. Penggunaan tembung angkara dalam peribahasa Jawa memberikan wawasan yang kaya tentang nilai-nilai budaya Jawa, khususnya terkait dengan etika dan moralitas.

Peribahasa Jawa yang mengandung “tembung angkara” seringkali mengajarkan hikmah tentang pentingnya menghindari perilaku negatif dan menjaga keselarasan batin. Makna dan konteks penggunaannya bervariasi tergantung pada peribahasa itu sendiri, namun inti pesannya selalu berpusat pada dampak buruk dari amarah dan kejahatan.

Contoh Peribahasa Jawa yang Mengandung “Tembung Angkara”

  • “Sing angkara murka bakal nandhang sangsara.” Peribahasa ini memiliki arti “Orang yang mudah marah akan menderita kesengsaraan.” Tembung angkara di sini merujuk pada sifat mudah marah yang dapat membawa penderitaan bagi diri sendiri.
  • “Angkara murka iku pangkon bencana.” Artinya, “Amarah adalah pangkal bencana.” Peribahasa ini secara langsung mengaitkan amarah (angkara murka) sebagai penyebab malapetaka atau kesialan.

Makna dan Konteks Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Peribahasa

Dalam konteks peribahasa Jawa, “tembung angkara” tidak selalu merujuk pada kejahatan yang bersifat fisik atau kriminal. Lebih luas, ia mencakup berbagai bentuk perilaku negatif seperti amarah yang tak terkendali, kebencian, keserakahan, dan sifat-sifat buruk lainnya yang dapat merusak diri sendiri dan orang lain. Penggunaan tembung angkara bertujuan untuk mengingatkan akan konsekuensi dari tindakan yang didorong oleh emosi negatif tersebut.

Peribahasa Jawa Relevan dengan Makna “Tembung Angkara”

  • “Becik ketitik ala ketara.” (Kebaikan akan terlihat, kejahatan akan tampak). Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan “tembung angkara,” peribahasa ini relevan karena menekankan konsekuensi dari perbuatan baik dan buruk, sejalan dengan tema dampak negatif dari “tembung angkara”.
  • “Manunggaling kawula lan Gusti.” (Kesatuan hamba dan Tuhan). Peribahasa ini menekankan pentingnya kerukunan dan kedamaian batin, yang berlawanan dengan sifat “angkara” yang penuh amarah dan kebencian.

Peribahasa Jawa yang Mengandung “Tembung Angkara” dan Penjelasan Maknanya

“Wong kang tansah ngumbar angkara murkane, bakal kelangan tentrem.” (Orang yang selalu melampiaskan amarahnya akan kehilangan kedamaian.)

Peribahasa ini menjelaskan bahwa kebiasaan melampiaskan amarah akan berujung pada hilangnya kedamaian batin dan kesejahteraan hidup. Kehilangan kedamaian ini merupakan konsekuensi langsung dari tindakan yang didorong oleh “tembung angkara”.

Perbandingan “Tembung Angkara” dengan Kata Serupa dalam Bahasa Lain

Kata “tembung angkara” dalam bahasa Jawa memiliki konotasi yang kuat dan spesifik. Untuk memahami arti dan penggunaannya secara lebih luas, perlu dilakukan perbandingan dengan kata-kata serupa dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya. Perbandingan ini akan mengungkap persamaan dan perbedaan makna, serta konteks penggunaannya dalam kalimat.

Persamaan dan Perbedaan “Tembung Angkara” dengan Kata Serupa dalam Bahasa Indonesia

Dalam bahasa Indonesia, tidak ada padanan yang tepat untuk “tembung angkara”. Namun, beberapa kata dapat mendekati maknanya, seperti “perbuatan jahat”, “kejahatan”, “dosa”, atau “keangkaramurkaan”. Perbedaannya terletak pada nuansa dan tingkat intensitas. “Tembung angkara” lebih menekankan pada tindakan yang kejam, bengis, dan penuh niat buruk, serta seringkali berkonotasi mistis atau gaib. Kata-kata Indonesia cenderung lebih umum dan kurang spesifik dalam menggambarkan tingkat kejahatan tersebut.

Persamaan dan Perbedaan “Tembung Angkara” dengan Kata Serupa dalam Bahasa Sunda

Bahasa Sunda, sebagai bahasa daerah yang berdekatan dengan Jawa, mungkin memiliki kata-kata yang memiliki kesamaan makna dengan “tembung angkara”. Meskipun penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menemukan padanan yang persis, kata-kata seperti “karyana jahat” (perbuatan jahat) atau “panyakit ati” (penyakit hati) bisa jadi memiliki beberapa kesamaan konotasi. Namun, “karyana jahat” lebih umum, sementara “panyakit ati” lebih menekankan pada aspek batiniah pelaku kejahatan. Perbedaannya terletak pada kekhususan konteks dan nuansa mistis yang lebih kuat dalam “tembung angkara”.

Tabel Perbandingan Kata “Tembung Angkara” dan Padanannya dalam Beberapa Bahasa Daerah

Tabel berikut ini memberikan gambaran perbandingan kata “tembung angkara” dengan padanannya dalam beberapa bahasa daerah. Perlu diingat bahwa padanan ini mungkin tidak sepenuhnya tepat dan konteks penggunaannya perlu diperhatikan.

BahasaKata PadananMaknaContoh Kalimat
JawaTembung AngkaraPerbuatan jahat yang kejam dan bengis, seringkali berkonotasi mistisWong iku nglakoni tembung angkara marang tangga teparo. (Orang itu melakukan perbuatan jahat terhadap tetangganya.)
IndonesiaPerbuatan kejiTindakan yang sangat buruk dan kejamPerbuatan keji itu tidak akan pernah terlupakan.
SundaKaryana jahatPerbuatan jahatAnjeunna ngalakukeun karyana jahat ka batur. (Dia melakukan perbuatan jahat kepada orang lain.)
Madura(Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan padanan yang tepat)

Contoh Kalimat dengan Variasi Penggunaan “Tembung Angkara”

Kata “tembung angkara” dalam bahasa Jawa memiliki makna yang kaya dan dapat digunakan dalam berbagai konteks. Pemahaman yang mendalam terhadap nuansa kata ini memungkinkan kita untuk menggunakannya secara efektif dan tepat dalam kalimat. Berikut beberapa contoh kalimat yang menunjukkan fleksibilitas penggunaan “tembung angkara” dalam berbagai variasi tata bahasa dan konteks.

Variasi Tata Bahasa dan Nuansa Makna

Penggunaan “tembung angkara” dapat menghasilkan nuansa makna yang berbeda tergantung pada konteks kalimat dan tata bahasanya. Perbedaan tersebut dapat terlihat jelas dalam beberapa contoh berikut.

  1. Kalimat 1: “Wong kuwi tembung angkarane ora bisa dipercaya.” (Orang itu perkataannya tidak bisa dipercaya.) – Kalimat ini menekankan ketidakpercayaan pada perkataan seseorang.
  2. Kalimat 2: “Tembung angkara siji wae wis cukup ngrusak reputasine.” (Satu kata saja sudah cukup merusak reputasinya.) – Kalimat ini menyoroti dampak negatif dari perkataan yang salah.
  3. Kalimat 3: “Tembung angkarane manis, nanging ati-atine jahat.” (Kata-katanya manis, tetapi hatinya jahat.) – Kalimat ini menunjukkan kontras antara kata-kata dan tindakan seseorang.
  4. Kalimat 4: “Aja ngomong tembung angkara marang wong liya.” (Jangan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan kepada orang lain.) – Kalimat ini berupa nasihat untuk menghindari perkataan yang buruk.
  5. Kalimat 5: “Tembung angkara iku bisa nyebabake perselisihan.” (Perkataan yang menyakitkan dapat menyebabkan perselisihan.) – Kalimat ini menjelaskan konsekuensi dari penggunaan “tembung angkara”.

Kalimat Aktif dan Pasif

Berikut contoh penggunaan “tembung angkara” dalam kalimat aktif dan pasif:

  1. Kalimat Aktif: “Dhèwèké ngomong tembung angkara marang kancane.” (Dia mengucapkan kata-kata yang menyakitkan kepada temannya.)
  2. Kalimat Pasif: “Tembung angkara diucapake dhèwèké marang kancane.” (Kata-kata yang menyakitkan diucapkan olehnya kepada temannya.)

Kalimat Berbagai Bentuk Waktu

Berikut contoh penggunaan “tembung angkara” dalam berbagai bentuk waktu (masa lampau, sekarang, masa depan):

  1. Masa Lampau: “Kemarin dheweke nggunakake tembung angkara.” (Kemarin dia menggunakan kata-kata yang menyakitkan.)
  2. Sekarang: “Saiki dheweke isih ngomong tembung angkara.” (Sekarang dia masih mengucapkan kata-kata yang menyakitkan.)
  3. Masa Depan: “Mungkin besok dheweke bakal ngomong tembung angkara maneh.” (Mungkin besok dia akan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan lagi.)

Kalimat Berbagai Jenis Kalimat

Berikut contoh penggunaan “tembung angkara” dalam berbagai jenis kalimat (pernyataan, pertanyaan, seru):

  1. Pernyataan: “Tembung angkara kuwi ora apik.” (Kata-kata yang menyakitkan itu tidak baik.)
  2. Pertanyaan: “Apa sampeyan tau ngomong tembung angkara?” (Apakah kamu pernah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan?)
  3. Seru: “Awas, aja ngomong tembung angkara!” (Awas, jangan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan!)

Analisis Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Sastra Jawa Klasik: Tembung Angkara Tegese

Tembung angkara, yang berarti amarah atau kemarahan yang membutakan, seringkali menjadi elemen penting dalam membangun plot dan karakter dalam sastra Jawa klasik. Penggunaan tembung angkara ini tidak sekadar sebagai bumbu penyedap cerita, melainkan berfungsi untuk memperkaya tema dan pesan moral yang ingin disampaikan pengarang. Analisis berikut akan menelaah penggunaan tembung angkara dalam Serat Centhini, salah satu karya sastra Jawa klasik yang kaya akan intrik dan konflik.

Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Serat Centhini

Dalam Serat Centhini, tembung angkara sering dikaitkan dengan tokoh-tokoh yang terjerat dalam ambisi, kecemburuan, atau dendam. Kemarahan yang meluap-luap ini mengarah pada tindakan-tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Contohnya, perilaku tokoh tertentu yang didorong oleh angkara murka dapat memicu konflik dan peristiwa penting dalam alur cerita.

Konteks Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Serat Centhini

Konteks penggunaan tembung angkara bervariasi tergantung pada situasi dan karakter yang terlibat. Kadang kala, angkara digambarkan sebagai sebuah kekuatan yang menguasai seseorang, membutakan akal sehat dan moralitasnya. Di lain waktu, angkara muncul sebagai konsekuensi dari perbuatan jahat atau kesalahan yang dilakukan oleh seseorang.

Makna dan Fungsi “Tembung Angkara” dalam Membangun Alur Cerita Serat Centhini

Tembung angkara berfungsi sebagai penggerak utama dalam alur cerita Serat Centhini. Kemarahan dan kebencian yang dipicu oleh angkara menciptakan konflik-konflik yang menarik dan menantang. Konflik-konflik ini kemudian mengarah pada perkembangan plot dan perubahan dalam kehidupan para tokoh. Tanpa adanya angkara, cerita mungkin akan terasa datar dan kurang menarik.

Kontribusi “Tembung Angkara” terhadap Tema dan Pesan Moral Serat Centhini

Penggunaan tembung angkara dalam Serat Centhini berkontribusi terhadap tema tentang bahaya amarah dan kebencian. Melalui kisah-kisah yang menampilkan konsekuensi dari angkara, pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya mengendalikan emosi dan bertindak bijaksana. Pesan moral yang ingin disampaikan adalah pentingnya menghindari angkara dan mencari jalan yang benar dalam kehidupan.

Ringkasan Analisis Penggunaan “Tembung Angkara” dalam Serat Centhini

Dalam Serat Centhini, tembung angkara digunakan secara efektif untuk membangun alur cerita, mengembangkan karakter, dan mengungkapkan tema tentang bahaya amarah dan kebencian. Penggunaan tembung angkara ini menunjukkan kehebatan pengarang dalam menggunakan bahasa dan imajinasi untuk menciptakan karya sastra yang bermakna dan mendalam. Angkara bukan sekedar kata, tetapi alat untuk menciptakan dinamika dan pesan moral yang kuat.

You May Also Like